Sabtu, Oktober 25, 2008

KEADILAN DAN KASIH

Di suatu tempat dan waktu terdapat seorang kepala suku. Ia sangat dihormati bukan hanya karena keperkasaan fisiknya, namun juga hikmatnya dalam memimpin sukunya. Selama masa kepemimpinannya hukum benar-benar ditegakkan sehingga semua anggota suku merasa aman.

Suatu kali, terjadi pencurian sapi milik seorang anggota suku. Mendapat laporan itu, Kepala Suku mengumpulkan rakyatnya dan berkata bahwa siapapun yang melakukan pencurian itu akan dihukum cambuk 20 kali. Ia berharap agar ancaman tersebut dapat menghentikan pencurian tersebut. Tetapi, tiga hari kemudian, ada lagi warga yang lain yang mengadukan kehilangan ternak miliknya. Kepala Suku kecewa. Dan ia memberi tahu rakyatnya bahwa ia telah menaikan ancaman hukuman menjadi 50 kali hukuman cambuk. Sekali lagi, Kepala Suku berharap bahwa pencurian tersebut adalah yang terakhir. Ia salah. Dua hari setelah pemberitahuan kenaikan ancaman tersebut, masih ada warga yang melaporkan kehilangan harta bendanya. Kepala Suku sudah bukan kecewa lagi, tetapi marah besar. Dan, ia menaikan ancaman hukuman menjadi 75 kali cambuk.

Seminggu setelah itu, terjadi keramaian di salah satu sudut wilayah sukunya. Orang berkerumun. Di tengah-tengah kerumunan itu seorang pemuda berusia 20-an tahun sedang tersungkur setelah dipukuli warga suku karena kedapatan sementara berusaha mencuri kambing warga suku. Mereka menginterogasi pemuda itu dan mendapati bahwa ia adalah orang yang sama yang telah melakukan pencurian yang meresahkan suku. Rakyat kemudian membawanya ke hadapan Kepala Suku. Dengan wajah tertunduk, pemuda itu berjalan ke rumah Kepala Suku hingga ia tiba di hadapan pemimpin suku tersebut. Kepala Suku mendekat untuk berusaha melihat wajah pemuda yang telah berlumuran darah tersebut. Betapa kagetnya ia, ternyata pemuda itu adalah anaknya sendiri. Kepala Suku menghadapi dilema. Haruskah ia selaku Kepala Suku menjalankan keadilan dengan melaksanakan ancaman hukuman cambuk 75 kali tersebut, ataukah ia sebagai seorang ayah yang mengasihi anaknya membatalkan pelaksanaan ancaman hukuman tersebut. Ia menyadari bahwa kedua perannya tersebut bukan harus dipertentangan, tetapi harus diharmoniskan. Ia adalah seorang yang berhikmat.

Kepala Suku bertitah bahwa hukuman harus dilaksanakan. Hukum harus diberlakukan tanpa pandang bulu. Warganya, walaupun sangat terharu, makin kagum dengan kepemimpinan pemimpin mereka. Keesokan harinya, sang pemuda dengan punggung telanjang telah diikat di suatu tiang di tengah lapangan terbuka, dengan seorang algojo berbadan besar yang memegang cambuk. Ia hari itu bertugas mencambuk punggung pemuda tersebut 75 kali.

Dari atas tempat duduknya di panggung, Kepala Suku dengan sangat pedih hati, memerintahkan agar hukuman dipersiapkan. Aba-aba terakhir akan diberikan oleh Kepala Suku sendiri. Algojo mengambil tempat di dekat pemuda, dan mempersiapkan cambuknya. Ketika ia mengangkat tanggannya pada posisi tertinggi dan menanti komando dari Kepala Suku, ia bukan mendengar komando untuk mencambuk, tetapi "Tunggu...!", teriak sang Kepala Suku.

Dan, Kepala Suku bergegas turun mendekati anaknya. Setiba di hadapan sang algojo, Kepala Suku membuka baju kebesarannya, dan makin mendekati anaknya. Warganya terkejut ketika Kepala Suku tiba-tiba memeluk anaknya yang terikat di batang pohon dan menempelkan seluruh dadanya di punggung anaknya sehingga seluruh tubuh Kepala Suku yang besar itu menutupi seluruh tubuh sang pemuda.

Kepala Suku kemudian memberikan komando eksekusinya. Setiap kali cambukan menghantam tubuh Kepala Suku, ia berkata kepada anaknya "Ayah mengasihimu, anakku...!". Saat itulah keadilan dan kasih menjadi suatu keharmonisan dalam waktu dan tempat yang sama.

Keharmonisan yang lebih besar lagi, yakni antara Keadilan dan Kasih ALLAH telah terjelma di kayu salib Yesus yang mati bagi kita. Adakah kita kini masih tega menyalibkan Kristus lagi dengan dosa-dosa kita?

Rabu, Oktober 22, 2008

PERANGKAP DOSA

Suatu sistem yang unik, telah dipakai di hutan-hutan Afrika untuk menangkap monyet yang ada disana. Sistem itu memungkinkan untuk menangkap monyet dalam keadaan hidup, tak cedera, agar bisa dijadikan hewan percobaan atau binatang sirkus di Amerika.

Sang pemburu monyet, akan menggunakan sebuah toples berleher panjang dan sempit, dan menanamnya di tanah. Toples kaca yang berat itu berisi kacang, ditambah dengan aroma yang kuat dari bahan-bahan yang disukai monyet-monyet Afrika. Mereka meletakkannya di sore hari dan mengikat (menanam) toples itu erat-erat ke dalam tanah. Keesokan harinya, mereka akan menemukan beberapa monyet yang terperangkap, dengan tangan yang terjulur, dalam setiap botol yang dijadikan jebakan.

Tentu, kita tahu mengapa ini terjadi. Monyet-monyet itu tak melepaskan tangannya sebelum mendapatkan kacang-kacang yang menjadi jebakan. Mereka tertarik pada aroma yang keluar dari setiap toples, lalu mengamati, menjulurkan tangan, dan terjebak. Monyet itu, tak akan dapat terlepas dari toples, sebelum ia melepaskan kacang yang sedang digenggamnya. Selama ia tetap mempertahankan kacang-kacang itu, selama itu pula ia terjebak. Toples itu terlalu berat untuk diangkat, sebab tertanam di tanah. Monyet tak akan dapat pergi kemana-mana.

Kita mungkin tertawa dengan tingkah monyet itu. Kita bisa jadi terbahak saat melihat kebodohan monyet yang terperangkap dalam toples. Tapi, mungkin, sesungguhnya, kita sedang menertawakan diri kita sendiri. Betapa sering, terus terperangkap dalam dosa, karena kita tidak mau melepaskan kesenangan-kesenangan, benda-benda yang dapat menjerumuskan kita dalam dosa.

KRISTUS TELAH MENEBUS KITA DARI SEMUA DOSA DAN PELANGGARAN JADI HIDUPLAH DALAM KEKUDUSAN, JANGAN TERJEBAK DALAM PERANGKAP DOSA. (ROMA 6:11)

Jumat, Oktober 17, 2008

DAPATKAH DUA ORANG BERJALAN BERSAMA?

Suatu pagi, gelombang awan debu menutupi jalan setapak yang adalah jalanan kami setiap hari. Tempat tinggal sementara tetangga kami yang dikelilingi gerobak-gerobak dipenuhi suasana riuh bersebu tersebut, ternyata adalah akibat adanya dua ekor sapi jantan yang saling bertarung keras. Kedua sapi jantan tersebut mendengus-dengus, menguak dan saling menyerang, dengan tanduk tajam mereka yang saling mengunci, saling berusaha dengan gigihnya mengalahkan lawannya, saling berupaya keras untuk mematahkan tanduk lawannya.

Tetapi yang aneh, pemilik kedua sapi jantan tersebut malah memberikan semangat atau dorongan kepada sapi-sapi itu agar terus bertarung sampai ada yang kalah. Mula-mula yang satu didera lalu yang lainnya jika kelihatannya sapi-sapi jantan itu hendak berhenti bertarung. Deraan tersebut nampaknya dilakukan terus agar kedua sapi jantan itu marah dan bertarung terus, menyodorkan tontonan gratis.

Saya terheran-heran, maka saya pun bertanya, "Mengapa sapi-sapi itu tidak dihentikan agar tidak berkelahi terus? Mengapa kedua sapi itu malah dihasut terus agar berkelahi dengan sengit?"

"Apa!?" jawab si pemilik kedua sapi itu, "Saya baru saja membeli kedua sapi jantan itu dan saya tidak bisa menggunakannya sebagai satutim untuk menarik gerobak-gerobak ini, sebab mereka berkelahi terus. Karena itu keduanya harus bertarung dulu untuk menentukan yang mana dari keduanya yang akan menjadi bos. Salah satu dari sapi jantan ini pasti akan menyerah sehingga yang satunya menang, sekali untuk selamanya. Maka saya pun akan bisa menggunakan mereka untuk menarik gerobak-gerobak saya ini. Jika saya mengikat mereka sebagai pasangan untuk menarik gerobak ini sebelum keduanya berkelahi memperebutan posisi sebagai bos, maka yang satu akan menarik gerobak ini ke timur sedangkan yang satunya bisa menariknya ke barat, lalu akan berputar-putar terus laksana perputaran jarum jam."

"Ketaatan diperlukan bila hendak maju secara rohani"

Anda dimana ya?

Free Profile Map from ModMyProfile.com